the legent of sangkuriang
This is an example of how nature was converted into a legend, such as Bandung lake and Mt Tangkuban Perahu with the story of Queen Dayang Sumbi and her son Sangkuriang cited from Neuman va Padang (1971). Once Sangkuriang, whilst growing up, he was so naughty and got hurt and the wound formed an ugly scar.
The King, who loved his son above everything was so furious that his son had hurt himself that he rejected his wife. Fifteen years later, being of age, Sangkuriang asked his father permission to take a trip to West Java. After arriving in the plain of Bandung, he met a beautiful lady, fell in love and ask her to marry him and she accepted. But one day when she caressed her lover’s head she saw the wound. The loving woman, turned out to be the disowned queen, discovered that she was in love with her son and marriage was impossible.
The marriage had to be prevented.
Kamis, 21 April 2011
Politik Luar Negeri Republik Indonesia
Politik Luar Negeri Republik Indonesia
Politik luar negeri adalah
strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan
negara-negara lain. Dalam
arti luas, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan
oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain.
Politik luar negeri
berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan
tertentu. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri
Republik Indonesia
(1984-1988), politik luar
negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh
pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha
untuk mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah
memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”. Dari
uraian di muka sesungguhnya dapat diketahui bahwa tujuan politik luar negeri
adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional.
Tujuan tersebut memuat
gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi masa depan yang
diinginkan. Pelaksanaan politik luar negeri diawali oleh penetapan
kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang didasarkan
pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal serta faktor-faktor
internasional sebagai faktor eksternal.
Dasar hukum
pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tergambarkan secara jelas
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea I dan alinea IV. Alinea I
menyatakan bahwa .… kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.
Sejarah Masyarakat Indonesia
Sejarah Masyarakat Indonesia
Idonesia adalah negeri yang strategis, yang memiliki syarat-syarat untuk menjadi negeri yang makmur dan sejahtera; luas tanah dan laut, kekayaan alam, serta jumlah tenaga kerjanya melimpah (86.000.000 tenaga kerja); Letak geografisnya menguntungkan; terletak di antara dua benua, (Asia dan Australia), serta diapit dua Samudera, (Samudra Hindia dan Pasifik, pusat pertumbuhan ekonomi menjelang dan di abad ke 21 nantinya). Kebudayaannya kaya, beragam, dan bila berpapasan dengan kebudayaan rakyat negeri lain, bisa memberi syarat-syarat bagi tumbuhnya masyarakat yang dinamik dan kuat; Indonesia berpotensi membentuk kebudayaan rakyat dunia, satu-satunya kebudayaan yang layak dikembangkan. Tiada alasan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin, tidak adil, dan berkebudayaan cupet (parokial)
KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA
KODE
ETIK
PSIKOLOGI INDONESIA
PSIKOLOGI INDONESIA
MUKADIMAH
Berdasarkan kesadaran diri atas
nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
menghormati harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi terpeliharanya
hak-hak asasi manusia. Dalam kegiatannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Indonesia mengabdikan dirinya untuk meningkatkan pengetahuan tentang perilaku
manusia dalam bentuk pemahaman bagi dirinya dan pihak lain serta memanfaatkan
pengetahuan dan kemampuan tersebut bagi kesejahteraan manusia.
Asal Usul Nama Indonesia
Asal Usul Nama Indonesia
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda),
sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista. Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amuktipalapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul. Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi! Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis,
sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista. Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amuktipalapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul. Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi! Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis,
PIDATO SINGKAT IR. SOEKARNO DETIK-DETIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
PIDATO SINGKAT IR.
SOEKARNO
DETIK-DETIK
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
“Saudara-saudara sekalian!
Saya
telah meminta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa
maha-penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia
telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus
tahun!
Gelombang
aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu, ada naiknya dan ada turunnya, tetapi
jiwa kita tetap menuju ke a rah cita-cita.
Juga
dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak ada
henti-hentinya.
Di
dalam jaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka.
Tetapi pada hakekatnya, kita tetap menyusun tenaga kita sendiri, tetapi kita
percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang
tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air
kita, di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib
dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka
kami tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia . Permusyawaratan itu seia
sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan
kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan
ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkan
proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
Kemerdekaan
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan
d.l.l., di-
selenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang se-
singkat-singkatnja.
Atas
nama bangsa Indonesia .
Soekarno/Hatta.
Demikianlah
saudara-saudara!
Kita
sekarang telah merdeka!
Tidak
ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat
ini kita menyusun negara kita! Negara Merdeka.
Negara
Republik Indonesia-merdeka, kekal abadi. Insyaallah, Tuhan memberkati
kemerdekaan kita itu.”
Sejarah Kepramukaan Indonesia
Sejarah Kepramukaan Indonesia
B. Sejarah Singkat Gerakan Pramuka
Gagasan Boden Powell yang cemerlang dan menarik itu akhirnya menyebar ke berbagai negara termasuk Netherland atau Belanda dengan nama Padvinder. Oleh orang Belanda gagasan itu dibawa ke Indonesia dan didirikan organisasi oleh orang Belanda di Indonesia dengan nama NIPV (Nederland Indische Padvinders Vereeniging = Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda).
Oleh pemimpin-pemimpin gerakan nasional dibentuk organisasi kepanduan yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang baik dan menjadi kader pergerakan nasional. Sehingga muncul bermacam-macam organisasi kepanduan antara lain JPO (Javaanse Padvinders Organizatie) JJP (Jong Java Padvindery), NATIPIJ (Nationale Islamitsche Padvindery),
Rabu, 20 April 2011
Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia
Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia
oleh Ridwan
Saidi
SEJAK gerakan zionis
internasional Freemasonry didirikan di Inggris tahun 1717, orang Yahudi lebih
suka menyelubungi aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang
bertujuan "kemanusiaan". Pengumpulan dana dipusatkan di New York.
Sejak 17 November 1875, pimpinannya adalah seorang Yahudi di Rusia, Nyonya
Blavatsky. Jurnal The Theosofist, yang diterbitkan di New York, pada terbitan
tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus Baron van Tengnagel untuk
mendirikan loge, rumah ibadat kaum Vrijmetselarij/Freemasonry di Pekalongan.
Kota ini dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota, di
samping dikenal sebagai konsentrasi santri di Jawa Tengah. Loge didirikan tahun
1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat berhubung praktek
ritualisme mereka, yaitu memanggil arwah. Karena itu, penduduk menyebut loge sebagai
gedong setan.
perang dunia ke 2
Tentu kalian pernah mendengar kata Perang Dunia, bukan? Apakah yang kalian bayangkan ketika mendengar kata tersebut? Apakah seluruh penduduk saling bertempur dalam waktu yang bersamaan? Tentu sangat mengerikan, bukan? Yang dimaksud Perang Dunia bukan karena seluruh penduduk dunia bertempur, tetapi pengaruh atau akibat perang tersebut dirasakan oleh seluruh masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Pada awal PD II, Jepang berhasil merebut daerah jajahan Sekutu termasuk Indonesia. Akibatnya Indonesia dijajah oleh Jepang. Bagaimanakah kehidupan rakyat Indonesia saat dijajah Jepang? Apakah kehidupan rakyat lebih baik atau semakin menderita?
Pada akhir PD II Jepang mulai mengalami kekalahan dan memberi janji kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Apa tujuan Jepang tersebut? Bagaimana bangsa Indonesia menyikapinya? Agar lebih jelas pelajarilah materi berikut
A. Perang Dunia II
perkembangan politik di indonesia
Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu.
Kerajaan islam di indonesia
KERAJAAN
SAMUDERA PASAI
A. Awal
Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di pantai utara
Aceh, pada muara Sungai Pasangan (Pasai). Pada muara sungai itu terletak dua kota , yaitu samudera (agak jauh dari laut) dan Pasai
(kota pesisir).
Kedua kota yang
masyarakatnya sudah masuk Islam tersebut disatukan oleh Marah Sile yang
masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif
Mekah. Merah Selu kemudian dinobatkan menjadi sultan (raja) dengan gelar Sultan
Malik al Saleh.
Setelah resmi menjadi kerajaan Islam, Samudera Pasai
berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi Islam yang ramai.
Pedagang dari India ,
Benggala, Gujarat , Arab, Cina serta daerah di
sekitarnya banyak berdatangan di Samudera Pasai.
Samudera Pasai setelah pertahanannya kuat segera
meluaskan kekuasaan ke daerah pedalaman meliputi Tamiang, Balek Bimba,
Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer,
Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan Pasai.
B. Aspek
Kehidupan Politik
1)
Sultan Malik al Saleh ( 1290 - 1297)
2)
Muhammad Malik az Zahir ( 1297 – 1326 )
3)
Mahmud Malik az Zahir ( 1326 – 1345)
4)
Mansur Malik az Zahir ( …. – 1346 )
5)
Ahmad Malik az Zahir ( 1346 – 1383 )
6)
Zain al Abidin Malik az Zahir ( 1383 – 1405 )
7)
Nahrasiyah ( 1405 – 1412 )
8)
Sallah ad Din ( 1412 - … )
9)
Abu Zaid Malik az Zahir ( … - 1455 )
10) Mahmud
Malik az Zahir ( 1455 – 1477 )
11) Zain
al Abidin ( 1477 – 1500 )
12) Abdullah
Malik az Zahir ( 1501 – 1513 )
13) Zain
al Abidin ( 1513 – 1524 )
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Samudera
Pasai dapat dilihat pada masa pemerintahan raja-raja berikut ini:
1.
Sultan Malik al Saleh
Sultan Malik al Saleh merupakan raja pertama di Kerajaan Samudera Pasai.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Beliau berhasil menyatukan dua kota besar di Kerajaan Samudera Pasai, yakni kota Samudera dan kota
Pasai
dan menjadikan masyarakatnya sebagai umat Islam. Setelah beliau mangkat
pada tahun 1297, jabatan beliau diteruskan oleh putranya, Sultan Malik al
Thahir. Lalu takhta kerajaan dilanjutkan lagi oleh kedua cucunya yang bernama
Malik al Mahmud dan Malik al Mansur.
2.
Malik al Mahmud dan Malik al Mansur.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Malik al Mahmud
dan Malik al Mansur pernah memindahkan ibu kota kerajaan ke Lhok Seumawe dengan dibantu
oleh kedua perdana menterinya.
3.
Sultan Ahmad Perumadal Perumal
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Perumadal Perumal
inilah, Kerajaan Samudera Pasai pertama kalinya menjalin hubungan dengan
Kerajaan / Kesultanan lain, yakni Kesultanan Delhi (India ).
C. Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Samudera
Pasai dititikberatkan pada kegiatan perdagangan, pelayaran dan penyebaran
agama. Hal ini dikarenakan, banyaknya pedagang asing yang sering singgah bahkan
menetap di daerah Samudera Pasai, yakni Pelabuhan Malaka. Mereka yang datang
dari berbagai negara seperti Persia ,
Arab, dan Gujarat kemudian bergaul dengan
penduduk setempat dan menyebarkan agama serta kebudayaannya masing-masing.
Dengan demikian, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Samudera Pasai
bertambah maju, begitupun di bidang perdagangan, pelayaran dan keagamannya.
Keberadaan agama Islam di Samdera Pasai sangat
dipengaruhi oleh perkembangan di Timur Tengah. Hal itu terbukti pada saat
perubahan aliran Syi’ah menjadi Syafi’i di
Samudera Pasai. Perubahan aliran tersebut ternyata mengikuti perubahan di
Mesir. Pada saat itu, di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti
Fatimah yang beraliran Syi’ah kepada
Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i.
Aliran Syafi’i
dalam perkembangannya di samudera Pasai menyesuaikan dengan adat istiadat
setempat. Oleh karena itu kehidupan sosial masyarakatnya merupakan campuran
Islam dengan adat istiadat setempat.
D. Kemunduran
Kerajaan Samudera Pasai
Pada waktu Samudera Pasai berkembang, Majapahit juga
sedang mengembangkan politik ekspansi. Majapahit setelah meyakini adanya
hubungan antara Samudera Pasai dan Delhi
yang membahayakan kedudukannya, maka
pada tahun 1350 M segera menyerang Samudera Pasai.
Akibatnya, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Pusat perdagangan Samudera
Pasai pindah ke pulau Bintan dan Aceh Utara (Banda Aceh). Samudera Pasai runtuh
ditaklukkan Aceh
malin kundang
MALIN KUNDANG
Long time ago, in a small village near the beach in West Sumatera, lived a woman and her son, Malin Kundang. Malin Kundang's father had passed away when he was a baby, and he had to live hard with his mother. MalinKundang was a healthy, dilligent, and strong child. He usually went to the sea to catch fish, and brought it to his mother, or sold it in the town. One day, when Malin Kundang was sailing as usual, he saw a merchant's ship which was being raided by a small band of pirates. With his brave and power, Malin Kundang defeated the pirates. The merchant was so happy and asked Malin Kundang to sail with him. Malin Kundang agreed.
Many years later, Malin Kundang became a wealthty merchant, with a huge ship, loads of trading goods,many shipcrews, and a beautiful wife. In his journey, his ship landed on a beach. The villagers reconigzed him, and the news ran fast in the town: Malin Kundang became a rich man and now he is here. His mother, in deepful sadnees after years of loneliness, ran to the beach to meet her beloved son again. When the mother came, Malin Kundang, in front of his well dressed wife, his crews and his own gloriness, denied to meet that old, poor and dirty woman
Sabtu, 09 April 2011
Bundaku Tercinta Bundaku Tersayang
Bundaku tercinta mengasuh penuh suka
Senyum bahagia kutemukan surga
Kutunduk bersimpuh di telapak kaki
Bundaku tersayang wajibku mengabdi
Bunda… Bunda… Bunda… Bunda…
Bundaku tercinta Bundaku tersayang
Disinggasana yang penuh kasih
Bunda membelai nyanyian kalbu
Tak kusakiti tak kulukai
Bunda penawar sedih hatiku
Bunda… Bunda… Bunda… Bunda…
Bundaku tercinta Bundaku tersayang
Jika kubersedih ia pun tersiksa
Sebagai tanda kebesaran cinta
Kulantunkan lagumu dengan pujian
Jalan di depanku Bundaku penerang
Bunda… Bunda… Bunda… Bunda…
Bundaku tercinta Bundaku tersayang
Tetaplah Bunda dalam jiwamu
Dengan terbahagia jalan hidupku
Do’aku Bunda yang melahirkan
Hanyalah salam keselamatan
Bunda… Bunda… Bunda… Bunda…
Bundaku tercinta Bundaku tersayang
*
Sumber :
Album Mayada ( Cahaya Rasul Vol. 8 )
Langganan:
Postingan (Atom)